Harimau Jawa (Panthera tigris
sondaica), yang ukuran tubuhnya berada di antara ukuran tubuh subjenis
harimau Sumatera dan harimau Bali, bertahan sedikit lebih lama. Pada
tahun 1850-an, harimau Jawa dianggap sebagai 'gangguan' di beberapa
daerah perkotaan dan pada tahun 1872 hadiah yang diberikan bagi sebuah
kepala harimau yang terbunuh di Tegal, Jawa Tengah, adalah sekitar
3.000 gulden. Waktu itu ada beberapa lusin harimau dibunuh dalam usaha
memperoleh hadiah tersebut.
Bahkan sampai abad ini harimau
Jawa bukan tidak biasa ditemui dan meminta korban ratusan jiwa manusia
setiap tahunnya, namun penduduk tidak mau memerangi harimau ini, karena
jika mereka melakukannya, berdasarkan pengalaman, akan menyebabkan
rusaknya tanaman mereka oleh serbuan kawanan babi. Meskipun demikian,
seorang pemburu ulung Ledeboer mengaku telah menembak 100 ekor harimau
antara tahun 1910 dan 1940. Selain itu keadaan menyedihkan yang dialami
harimau ini tidak didukung oleh adanya permintaan terus-menerus dari
pembuat topeng merak dan harimau Singabarong yang digunakan dalam
pertunjukan tari tradisional reog ponorogo di Jawa Tengah dan Jawa
Timur.
Sampai tahun 1940 harimau sering terlihat dan
ditembak di bagian selatan Jawa Barat, dan kadang-kadang beberapa ekor
mencapai daerah Subang dan Cibadak. Populasi ini kemudian merosot dan
mendekati pertengahan tahun 1960-an, harimau Jawa hanya ditemukan di
suaka alam Ujung Kulon, Leuweung Sancang, Baluran dan Meru Betiri.
Perlawanan perjuangan rakyat
pada waktu itu menyebabkan kelompok-kelompok penduduk bersenjata
mencari perlindungan di berbagai kawasan tersebut. Harimau mati karena
tidak tahan terhadap serangan anthrax atau karena menipisnya populasi
rusa.
Tidak satu pun kawasan hutan yang tersisa di jawa pada pertengahan
abad ini merupakan habitat utama harimau dan hutan ini semakin lama
semakin terpenggal-penggal. Jelas bahwa kepunahan harimau Jawa terjadi
karena ruang gerak tidak tersedia lagi. Kesimpulan yang sama berlaku
juga bagi harimau Bali, tetapi diperburuk ketika beberapa harimau yang
masih tersisa dipromosikan sebagai sasaran olah raga berburu pada tahun
1930-an.
Berbagai survai yang dilakukan
oleh PHPA dan World Wide Fund for Nature pada tahun 1976, menegaskan
bahwa ada tiga ekor harimau di Taman Nasional Meru Betiri, tetapi tidak
ditemukan bukti-bukti adanya perkembangbiakan. Binatang-binatang ini
tidak membatasi kegiatannya hanya di dalam taman, namun mereka juga
tidak menggunakan seluruh kawasan berhutan yang tersedia.
Pada tahun 1979 tiga ekor harimau
masih tersisa. Presiden Soeharto menekankan kebutuhan untuk melindungi
harimau tersebut, namun usaha ini memerlukan relokasi 5.000 buruh
perkebunan. Beberapa politikus menganggap tindakan untuk menyelamatkan
beberapa ekor harimau ini terlalu berlebihan, sehingga usaha
konservasinya menjadi terhambat.
Berbagai instruksi yang
diperlukan untuk melindungi harimau akhirnya dikeluarkan, namun tidak
pemah benar-benar dilakukan sehingga pada pertengahan tahun 1980-an
harimau Jawa tidak lebih dari sekedar simbol bagi divisi tentara
Siliwangi dijawa Barat, binatang buruan ini tidak ditemukan oleh
mahasiswa peserta berbagai ekspedisi, dan hanya simbol dorongan hati
manusia.
Meskipun Meru Betiri merupakan
tempat perlindungan terakhir bagi harimau, sebenarnya bukan merupakan
habitat khusus yang tepat bagi harimau, dan secara alami harimau tidak
akan hidup dalam kepadatan yang sangat tinggi, karena dataran alluvial
yang lebih rendah yang menyediakan populasi mangsa besar terutama rusa
telah diubah menjadi perkebunan, segera sesudah Perang Dunia II .
Laporan saksi mata dan jejak -jejak harimau dilaporkan ditemukan
pada tahun 1979 di lereng Gn. Slamet bagian selatan yang berhutan,
namun karena tidak ada pengamatan ulang semenjak itu, tampaknya tidak
ada harapan harimau tersebut dapat bertahan hidup.
Menetapkan waktu kepunahan
binatang yang secara metafisik memegang peranan penting seperti
harimau, sulit dilakukan karena penduduk mempunyai kesan yang melekat
erat tentang harimau , tidak mengherankan jika kadang-kadang laporan
mengenai harimau tunggal yang terpencil muncul di berbagai surat kabar,
tetapi hampir pasti apa yang diberitakan itu adalah macan kumbang
Panthera pardus yang lebih mudah menyesuaikan diri , yang nama
lokalnya sangat mirip.
Meskipun tidak pernah diumumkan
secara resmi, seseorang dapat menyatakan, tanpa merasa takut akan
munculnya pertentangan pendapat, bahwa harimau Jawa telah punah.
Bukti-bukti kuat tentang keberadaannya tidak mungkin ditunjukkan sejak
15 tahun terakhir, meskipun banyak ekspedisi yang telah dilakukan. Luas
Taman Nasional Meru Betiri hanya 50 km2, kawasan seluas ini secara
normal dihuni enam atau tujuh ekor harimau betina dan tiga ekor harimau
jantan. Jumlah yang sedikit lebih banyak dapat dipaksakan menghuni
kawasan tersebut jika harimau-harimau itu memangsa binatang ternak di
sekitar Taman Nasional.
Laporan baru mengenai kematian
binatang ternak yang disebabkan oleh harimau tidak ada, dan
bertambahnya kepadatan harimau akan melebihi daya dukung.Jika masih ada
satu atau dua ekor yang tersisa, harimau Jawa secara esensial tetap
punah, terutama ditinjau dari segi ekologi dan evolusi. Kondisi
mengerikan yang dialami saudara sepupunya di Sumatera. Jaringan para
pemburu dan petugas dalam pengumpulan kulitnya, menjadi peringatan
bahwa memburu seekor harimau bukan merupakan hal yang sulit, ikatkan
seekor kambing lapar yang mengembik-embik pada sebatang pohon di tengah
hutan dan dalam beberapa hari binatang buruan anda akan datang.
Harimau memakam mamalia besar seperti rusa,
babi hutan, kerbau dan juga binatang kecil seperti
monyet, burung, reptilia dll. Dahulu kadang kala memangsa ternak penduduk,
seperti sapi, kambing, ayam, bebek. Harimau
memakan mangsa beserta tulangnya. Daging sisa mangsa
biasanya ditimbun oleh harimau. Kalau macan tutul atau macan
kumbang, hanya memakan daging tidak dengan tulang. Dan sisa
mangsa disimpan di atas cabang pohon
ukuran kotoran harimau Jawa lebih besar dari 3,4 sentimeter,
mengandung rambut mangsa, serpihan tulang, dan kadang kuku
kaki mangsa. Sedangkan kotoran macan tutul atau macan
kumbang memiliki ciri adanya de-daunan di bagian paling
ujung kotoran, dan ukurannya tidak pernah lebih besar dari 3
sentimeter.
Harimau jawa kini telah punah
dan hanya meninggalkan cerita mistis yang masih menjadi legenda di
masyarakat jawa. Masyarakat sangat takut dan menghormati harimau
sehingga menyebutnya dengan "eyang, mbah atau kakek/nenek." Agar selamat
taring, kuku, atau potongan kulit harimau sering dijadikan jimat.
Salah satu kisah misterinya
adalah perwujudan harimau jadi-jadian. Seseorang yang memiliki ilmu
harimau yang sempurna diyakini bisa berubah ujud menjadi harimau.
Tingkatan ilmunya mulai dari cakar harimau, selanjutnya meningkat
ilmunya menjadi lompatan harimau. Semakin tinggi ilmunya bagian tubuh
mulai bisa berubah menjadi harimau. Dikisahkan seseorang yang sangat
sakti selalu diikuti oleh harimau, konon harimau ini hanya bisa terlihat
secara gaib. Cerita penampakan Prabu Siliwangi selalu ditandai dengan
hadirnya seekor harimau di samping beliau.
Beberapa pendaki gunung di tahun
90an hingga awal 2000, bercerita pernah berjumpa atau didatangi
harimau jawa ketika sedang beristirahat, berkemah atau sedang membuat
api unggun. Diantaranya di gn. Semeru ketika sedang tidur merebahkan
diri di atas rumput seorang pendaki ditemani seekor harimau yang tidur
di sampingnya. Di gunung Ciremei pendaki yang bermalam ketika membuka
tenda dikagetkan oleh seekor harimau yang berdiri di depan tenda. Di
gunung Lawu awal tahun 2000an beberapa pendaki mendengarkan auman
harimau yang bergema sangat keras. Di gunung Arjuna-Welirang ketika
sedang membuka jalur, beberapa penambang belerang yang sedang
beristirahat didatangi seekor harimau yang mematikan api unggun mereka
dengan ekornya.
Penelitian oleh sekelompok
Pecinta Alam pada tahun 2005 di gunung ungaran juga mendapatkan bukti
berupa gua sarang harimau di lereng terjal yang penuh dengan goresan
cakar harimau pada batu di dasar pintu masuk gua.
Meskipun dinyatakan punah namun
harimau jawa masih sering menampakkan diri di hadapan para pendaki
gunung. Atau bisa jadi ada kekeliruan persepsi antara harimau jawa
dengan macan tutul.
Tiger is the largest member of the cat family. Tigers belong
to the genus Panthera in the cat family, Felidae. All tigers
are of the same species, P. tigris. People admire the tiger
for its strength and beauty, but they also fear it because
it has been known to kill and occasionally eat people. Yet
wild tigers prefer to avoid human beings. Tigers that kill
and eat people are most often sick or wounded animals that
can no longer hunt their natural prey. A hungry tiger may
also attack people if prey is extremely scarce.
Wild tigers are found in Sumatera, while tiger in Java
and Bali is extinct. Tigers can live in almost any climate.
They need only shade, water, and food. Tigers are found in
the rain forests of Thailand; the hot, dry thorn woods of
India; and the cold, snowy, spruce forests of Siberia.
Tigers also live in mangrove swamps, marshes, and tall
grasslands. In general, tigers like to be in shade. They
seldom go into the open plains as lions do. Most adult male tigers weigh about 420 pounds (190 kilograms) and are 9 feet (2.7 meters) long, including a 3-foot (0.9-meter) tail. Most adult tigresses (females) weigh about 300 pounds (140 kilograms) and are 8 feet (2.4 meters) long. The tiger's coat ranges from brownish-yellow to orange-red and is marked by black stripes. Each tiger has a unique stripe pattern, which is as distinctive as a human fingerprint. The fur on the throat, belly, and insides of the legs is whitish. Many tigers, especially the males, have a ruff of hair around the sides of the face. The tigers that live in Siberia, where winters are bitterly cold, have shaggy winter coats. Some tigers have chalk-white fur with chocolate-brown or black stripes. These tigers, called white tigers, are also distinctive because they have blue eyes. All other tigers have yellow eyes. White tigers are very rare in the wild. More than 100 white tigers live in the world's zoos. They are all descendants of a white cub caught in India in 1951. A normal-colored tigress can give birth to a litter in which some of the cubs are white. Tigers and lions look similar except for the color and length of their hair. The two species have even mated in zoos and produced offspring called ligers or tigons. Tigers hunt large mammals, such as deer, antelope, wild cattle, and wild pigs. They may even attack young rhinoceroses and elephants. They also catch such small animals as peafowl, monkeys, and frogs. At times, tigers attack porcupines, but the porcupine's quills may stick in the tiger's face and body, causing painful wounds. In many parts of Asia, tigers prey on domestic cattle and water buffalo, especially where hunters have greatly reduced the amount of wildlife. The tiger usually hunts at night, wandering along animal trails and dry stream beds. A tiger depends chiefly on its sharp vision and keen hearing, but it may also use its sense of smell. After stalking closely or waiting in cover, the tiger rushes at its prey in several bounds. Using its sharp claws, the tiger grasps the victim by the rump or upper body and pulls it down. Its large canine teeth are well suited for holding prey and for killing it. Tigers are extremely swift for short distances. However, if a tiger fails to catch its prey quickly, it usually will give up because it soon tires. As long as a week may go by without a successful hunt. After a kill, the tiger drags the carcass (dead body) to thick cover. The tiger's neck, shoulders, and forelegs are very powerful. A tiger may drag the body of a 500-pound (230-kilogram) water buffalo for 1/4 mile (0.4 kilometer). The tiger stays near the carcass until it has eaten everything except the large bones and stomach. A tiger may eat at least 50 pounds (23 kilograms) of meat in a night. A tiger often takes a long drink of water and a nap after a meal. Adult tigers usually live alone but are not unfriendly with one another. Two tigers may meet on their nightly rounds, rub heads in greeting, and then part. Several may share in eating a killed prey. Adult males often claim their own territory and try to keep other males out. In areas with abundant prey, such territories may average about 20 square miles (52 square kilometers). The male tiger marks trees in his territory with his scent and urine. The scent tells other tigers that the territory is occupied. A male's territory overlaps the territories of two or more females. Female territories are smaller than a male's. Each tiger wanders alone, but they communicate with each other. In addition to scent, they communicate with sounds, including a roar that can be heard for up to 2 miles (3.2 kilometers) or more. Some tigers do not have territories and travel widely. A tigress usually bears her first cubs when she is 3 1/2 to 4 years old. She carries the young within her body for about 3 1/2 months. She then gives birth to from one to six cubs, though usually two or three. Newborn cubs are helpless and weigh about 2 to 3 pounds (0.9 to 1.4 kilograms). Tiger cubs, like kittens, are playful. They are wholly dependent on their mother for food until they are about a year old. Even then, they cannot kill a large animal. Cubs become fully independent at about 2 years old. Female cubs then often settle down in a territory near their mother. Males tend to roam far from their birthplace. Tigers live up to 20 years in the wild. Tigers are good swimmers. They may swim across rivers or between islands. On hot days, they may cool off in water. Tigers can climb trees but usually do not. People have greatly reduced the number of tigers by killing them and by clearing the forests in which they lived. Scientists generally recognize eight varieties of tigers. Of these, three varieties are now extinct and three others-the South China tiger, the Sumatran tiger, and the Amur, or Siberian, tiger-are critically endangered. Several countries, especially India and Nepal, protect tigers in nature reserves. The survival of wild tigers depends on such efforts. Tigers are easy to breed and raise in zoos. Cubs are popular with zoo visitors. Adult tigers are often trained to perform in circuses. They jump through hoops and are even ridden. Today, enough tigers are born in captivity that no more need to be captured for zoos. The Javan tiger (Panthera tigris sondaica) is an extinct tiger subspecies. It inhabited the Indonesian island of Java until the 1980s and was one of the three subspecies limited to islands. Javan tigers were very small compared to other subspecies of the Asian mainland, but larger in size than Bali tigers. Males weighed between 100 and 140 kg (220 and 310 lb) on average with a body length of 200 to 245 cm (6.6 to 8.04 ft). Females were smaller than males and weighed between 75 and 115 kg (170 and 250 lb) on average. Their nose was long and narrow, occipital plane remarkably narrow and carnassials relatively long. They usually had long and thin stripes, which were slightly more numerous than of the Sumatran Tiger. The smaller body size of the Javan Tiger is attributed to Bergmann’s rule and the size of the available prey species in Java, which are smaller than the cervid and bovid species distributed on the Asian mainland. However, the diameter of their tracks are larger than of Bengal Tiger in Bangladesh, India and Nepal. At the end of the 18th century tigers inhabited most of Java. Around 1850, the people living in the rural areas still considered them a plague. Until 1940, tigers had retreated to remote mountainous and forested areas. Around 1970, the only known tigers lived in the region of Mount Betiri, the highest mountain (1,192 metres (3,911 ft)) in Java's southeast, which hadn’t been settled due to the rugged and slopy terrain. In 1972, the 500 km2 area was gazetted as wildlife reserve. The last tigers were sighted there in 1976. They preyed on rusa deer, banteng and wild boar, less often on water fowl and reptiles. Nothing is known about their gestation period, life span in the wild and in captivity. Up to World War II Javan tigers were kept in some Indonesian zoos, but these were closed down during the war. After the war, Javan Tiger were so rare already that it was easier to obtain Sumatran tigers. At the beginning of the 20th century 28 million people lived on the island of Java. The annual production of rice was insufficient to adequately supply the growing human population, so that within 15 years 150% more land was cleared for cultivating rice. In 1938 natural forest covered 23% of the island. 1975 only 8% forest stand remained; the human population had increased to 85 million people.[4] In this human-dominated landscape the extirpation of the Javan Tiger was a process intensified by the conjunction of several circumstances and events: Tigers and their prey were poisoned in many places during the period when their habitat was rapidly being reduced; Natural forests were increasingly fragmented after World War II for plantations of teak, coffee and rubber, which was unsuitable habitat for wildlife; Rusa deer, the tiger's most important prey species, was lost to disease in several reserves and forests during the 1960s; During the period of civil unrest after 1965 armed groups retreated to reserves, where they killed the remaining tigers. |
- Ekologi Jawa dan Bali terbitan Prenhallindo.
- The Indonesian Environment Almanac terbitan PT. Multi Kirana Pratama. - Mari Mengenal Taman Nasional di Jawa Timur terbitan Galeri Wacana. - Panduan Satwa KRKB Gembira loka - Mengenal Taman Nasional Gede Pangrango terbitan TNGP. - World Book Multimedia Encyclo pedia penerbit IBM - TropenMuseum - Belanda - Wikipedia.org |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Come on Study with me